Mitos “Batu Malin Kundang”

Cerita rakyat yang menceritakan “Kedurhakaan” Malin Kundang kepada ibunya telah akrab di telinga orang Indonesia. Datang dari ranah Minangkabau yang sangat menjunjung tinggi kedudukan perempuan, membuat cerita ini menarik untuk kita bedah. Penulis tidak mencoba membahas kisah kedurhakaan itu dilihat dari sisi sang Anak (Malin), namun lebih kepada sang Ibu.
Kenapa Malin harus dikutuk? Terlalu beratkah dosa yang diperbuatnya sehingga harus mengakhiri hidup dengan kutukan sebagai batu? Apalagi dilihat dari naluri seorang ibu, apakah se-begitu “galakkah” orang tua di Minang sehingga tidak merasa “lanteh angan” mengutuk anaknya sendiri?
Seandainya Malin Kundang tak sampai dikutuk, tentu ia bisa membangun kampungnya dan mengurangi pengangguran di desanya, dengan posisi ia sebagai saudaga serta kesempatan untuk “bertobat” dan meminta maaf kepada ibunya yang telah tua renta. Bayangkan juga jika Malin Kundang bukanlah anak Minang, tetapi sebagai anak Jawa. Apa kira-kira akhir dari legenda ini?
Sedikit penulis akan menyampaikan tradisi yang berlaku dalam masyarakat Jawa terkait relasi anak dan orang tua. Bagi orang tua di Jawa, anak merupakan amanah yang mesti diayomi sampai orang tua tersebut meninggal dunia. Sehingga, anak bagi orang Jawa memiliki kedudukan yang istimewa. Kebanggaan orang tua di Jawa, bukanlah ketika melihat anaknya berhasil, tetapi ketika pengorbanan yang diberikannya kepada sang anak telah mencapai titik maksimal. Kebanggaan bagi orang tua di Jawa bukanlah ketika anaknya lulus sebagai sarjana dan memiliki kekayaan yang banyak, sehingga ia bisa merasakan kenikmatan kekayaan anaknya itu sebagai hasil jerih payahnya membesarkan sang anak. Sekali-kali tidak. Orang Jawa, merasa bangga ketika ia bisa membelikan rumah, membuatkan toko untuk anaknya yang masih pengganguran. Sehingga hal yang sangat prestise adalah ketika orang tua mampu memberikan warisan yang banyak kepada anak, baik itu berupa materi maupun status sosial.
Berbeda dengan orang tua di Minang. Anak bagi orang tua di Minang adalah investasi yang diharapkan untuk meningkatkan hajat hidup dan keadaan ekonomi keluarga (biasanya otomatis mengangkat status sosial dalam masyarakat). Sehingga seorang anak, kalau ia laki-laki, maka disekolahkan tinggi-tinggi sehingga ia bisa bekerja di bidang-bidang potensial menghasilkan uang. Jika ia perempuan (apalagi punya paras yang cantik), maka dengan promosi yang luar biasa orang tua (biasanya Ibu) akan melegakan anaknya kepada laki-laki mapan (kaya) untuk diperistri. Menjadi obrolan membanggakan ketika bisa bercerita kepada kolega/orang kampung, “anak ambo nan kuliah di UI, kini alah bakarajo di PT. Caltex, gajinyo 10 Juta”, ketika sang anak pulang kampung, cerita itu semakin disebut-sebut dalam berbagai kesempatan.
Apa yang terjadi jika, seorang anak Minang telah berhasil, tapi ia hanya bisa sedikit membantu orangtua secara ekonomi, atau ketika sang anak tak sukses? Tentu kasus Ibu Malin Kundang-lah yang akan terjadi Dari tingkat ekstrem, “pengutukkan”-sampai yang agak lembut berupa keluhan/penyesalan. Ada rasa kecewa karena anak “tak pandai/bisa membalas budi orangtua”. Sehingga terkutuklah ia karena telah menjadi “durhaka”.
Tulisan ini tidak hendak menggeneralisasi keseluruhan keadaan orang tua yang ada di Minang, karena penulis yakin banyak orangtua Minang yang memposisikan anaknya sebagai amanah Allah. Tapi banyak juga kasus yang menunjukkan tindakan-tindakan yang penulis sebutkan di atas tadi. Mudah-mudahan penafsiran singkat ini atas legenda Malin Kundang, bisa menyadarkan kita akan konstruk budaya Minangkabau, yang mesti mendapatkan perhatian lebih, sehingga tidak sekedar indah dalam bahasa, tetapi juga terealisasi dalam realita…
Source : http://mersi.wordpress.com/2008/01/04/mitos-%E2%80%9Cmalin-kundang%E2%80%9D/

0 komentar :

Posting Komentar